Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Teori-Teori Belajar dalam Pembelajaran IPA

Konten [Tampil]
Pada ulasan ini, penulis akan menjelaskan terkait teori-teori belajar yang relevan dengan pembelajaran IPA. Untuk dapat memahaminya, simak tulisan berikut ini dengan seksama! 
Gambar 1. Ilustrasi Pengantar
Ilmu pengetahuan alam atau disingkat IPA merupakan salah satu mata pelajaran yang dipelajari di sekolah mulai di tingkat sekolah dasar bahkan hingga pendidikan tinggi. IPA sendiri merupakan bagian dari sains alam yang umumnya terdiri atas biologi, kimia, dan fisika. Beberapa juga ada yang menambahkan astronomi dan kebumian menjadi bagian dari IPA. Untuk dapat mempelajari dan membelajarkan IPA, maka diperlukan pemahaman mendasar terkait IPA itu sendiri agar konsep yang dimaksud dapat tersampaikan serta bermakna. Dalam hal ini, diperlukannya pemahaman terkait teori-teori belajar agar dapat membantu pendidik dalam menentukan desain pembelajaran yang akan dilaksanakan di dalam kelasnya. Terdapat beberapa teori belajar yang relevan dengan pembelajaran IPA disesuaikan dengan hasil belajar yang akan dicapai oleh peserta didik, yaitu hasil kognitif, hasil proses ilmiah, maupun hasil sikap ilmiah.

1. Teori Belajar untuk Pengetahuan Ilmiah (Kognitif)

Ranah kognitif berkenaan dengan hasil belajar intelektual atau segala upaya yang menyangkut aktivitas berpikir (Farida, 2017). Pengetahuan ilmiah berkaitan dengan fakta, generalisasi, hukum, dan teori yang berkaitan dengan proses kognitif. Jadi teori belajar yang direkomendasikan merupakan teori belajar yang orientasinya mengarah pada aspek kognitif. Beberapa teori belajar yang relevan dengan orientasi pengetahuan ilmiah (kognitif), yaitu:
  1. Teori Piaget
  2. Teori Bruner
  3. Teori Gagne
  4. Teori Ausubel
  5. Teori Dewey

Teori Piaget

Teori Piaget dikembangkan oleh Jean Piaget. Ia merupakan kelahiran Neuchatel, Swiss pada tahun 1896. Sejak kecil Piaget memiliki minat pada bidang zoologi dengan fokus mempelajari terkait struktur pada hewan baik berada di daratan maupun perairan. Seiring dengan perkembangan usianya, ia mulai tertarik pada struktur mental. Menurutnya, mental memiliki sisi unik yang perlu dikaji lebih dalam. Struktur mental sulit untuk dijabarkan layaknya mempelajari struktur hewan. Hal ini dikarenakan struktur mental tidak berkaitan dengan bagian-bagian tubuh. Olehnya, struktur mental dinamakan dengan istilah “schema” atau “schemata”. Piaget tertarik mempelajari struktur mental karena dalam pandangannya, mental akan mempengaruhi kesesuaian diri dengan lingkungan tempat kita berada.

Seiring dengan berjalannya waktu ditambah dengan pengalaman yang Piaget dapatkan dengan bekerja di salah satu badan yang menguji inteligensi anak. Piaget mulai melakukan observasi dan penelitiannya. Ia menemukan bahwa anak kecil dengan orang dewasa memiliki cara pandang yang berbeda apabila diberikan suatu permasalahan maupun pernyataan (kondisi/situasi). Ia pun beranggapan bahwa yang membedakan cara pandang anak dengan orang dewasa bukan terkait dengan seberapa banyak ilmu/pengetahuan yang diperoleh, melainkan berkaitan dengan kompleksitas pengetahuan itu sendiri. Sebagaimana Sapriati et al (2014) memberikan contoh kondisi terkait pernyataan “air mengalir dari tempat tinggi menuju tempat rendah”. Bagi orang dewasa ini mudah untuk dipahami, tetapi bagi anak menjadi suatu hal yang rumit. Pada akhirnya, Piaget mengemukan sebuah pandangan bahwa cara berpikir seseorang mengalami perkembangan sesuai dengan periode-periodenya. Artinya, cara berpikir atau pandang suatu individu (anak hingga orang dewasa) memiliki tahap-tahap perkembangannya. Teori Piaget ini telah membantu ahli bidang pendidikan untuk memahami bagaimana kapasitas kognitif seorang anak dapat ditingkatkan dan dikembangkan (Siregar et al, 2021).

Siregar et al (2021) menegaskan setidaknya ada 4 faktor yang mempengaruhi perkembangan kognitif anak menurut Piaget. Keempat hal tersebut yaitu: 1) perkembangan biologis; 2) lingkungan fisik; 3) lingkungan sosial; dan 4) equilibrasi atau penyeimbangan. Faktor perkembangan biologis ditandai dengan berkembangnya kekompleksan sistem saraf manusia. Semakin usia bertambah, maka susunan sel saraf akan semakin kompleks dan memengaruhi kemampuan kognitif seseorang. Faktor lingkungan fisik ditandai dengan keterlibatan lingkungan dalam mendukung untuk dapat diekplorasi oleh anak. Sejak dini, anak hendaknya diberikan kesempatan secara langsung untuk berinteraksi dengan lingkungan. Hal ini akan menimbulkan rasa ingin tahu dan mengembangkan keterampilan berpikir pada anak. Faktor lingkungan sosial ditandai dengan hasil belajar dari sosial. Anak akan berinteraksi serta belajar dari orang lain. Untuk itu, anak hendaknya berada dalam lingkungan sosial yang baik untuk mendukung perkembangan kognitifnya. Selanjutnya, faktor equilibrasi merupakan dorongan biologi untuk menciptakan keadaan seimbang atau adaptasi antara struktur kognitif dengan lingkungan. Equilibrasi sendiri merupakan faktor utama dalam perkembangan kognitif anak.

Piaget mengelompokkan periode-periode perkembangan mental anak menjadi 4 tahap, yaitu: 1) sensori-motorik; 2) pra-operasional; 3) operasi konkret; dan 4) operasi formal. Tahap sensori-motorik berlangsung pada anak yang berusia 0 sampai 2 tahun. Tahap pra-operasional berlangsung pada anak yang berusia 2 tahun hingga 7 tahun. Tahap operasi konkret berlangsung pada anak yang berusia 7 tahun hingga 11 tahun. Selanjutnya, tahap operasi formal berlangsung dari anak berumur 11 tahun ke atas.
  1. Tahap sensori motorik: anak mulai dapat membedakan dirinya dengan objek lain; mulai paham adanya sebab-akibat dari sesuatu yang dilakukan.
  2. Tahap pra-operasional: anak mulai belajar menggunakan bahasa dan merepresentasikan benda-benda dalam bentuk gambar atau kata-kata; mulai mampu melakukan klasifikasi sederhana; belum cepat melakukan konservasi; berpikir secara egosentris.
  3. Tahap operasi konkret: anak mulai dapat menjalankan operasi dalam batasan konkret, sudah menguasai konversi jumlah, massa, dan berat; mampu melakukan klasifikasi dalam beberapa kategori.
  4. Tahap operasi formal: anak sudah dapat berpikir logis dengan menggunakan proposisi yang abstrak; menguji hipotesis secara sistematis; dapat melakukan penalaran deduktif; mempertimbangkan masalah dari segi pandang moral dan etika (Widodo, 2021).
Piaget juga menyatakan bahwa kemampuan yang dimiliki oleh anak secara terus menerus diulang sehingga menjadi suatu kebiasaan. Hal ini yang menyebabkan anak dapat mengalami peningkatan. Proses kognitif demikian dinamakan oleh Piaget sebagai adaptasi. Adaptasi dapat terjadi apabila melalui 2 proses, yaitu asimilasi dan akomodasi. Asimilasi merupakan penggabungan pengetahuan baru ke skema berpikir yang telah ada, sedangkan akomodasi merupakan pengubahan skema berpikir yang telah ada diakibatkannya adanya pengetahuan baru yang membuat skema berpikir lama tidak relevan lagi. Sumber lain juga menyebutkan bahwa adaptasi memiliki makna lain yaitu sebagai equilibrasi. Equilibrasi merupakan penyeimbangan antara dunia luar dan dunia dalam seorang anak. Menurut Siregar & Nara (2015) bahwa seseorang yang memiliki kemampuan equilibrasi yang baik akan mampu menata berbagai informasi yang diterima dalam urutan yang baik, jernih, dan logis. Sebaliknya, jika kemampuan equilibrasi seseorang rendah, ia cenderung menyimpan semua informasi yang ada pada dirinya secara kurang teratur, sehingga ia tampil sebagai orang yang alur berpikirnya ruwet, tidak logis, juga berbelit-belit. Jika dianalisis, maka proses asimilasi lebih mudah dilaksanakan ketimbang proses akomodasi. Jadi, dalam penerapannya tuntutan terkait asimilasi dan akomodasi hendaknya seimbang agar proses belajar menjadi bermakna, tidak bosan, bahkan hingga membuat siswa frustasi. Sapriati et al (2014) menyatakan bahwa dalam teori Piaget, setidaknya ada beberapa hal yang perlu diperhatikan oleh pendidik dalam merangcang pembelajaran di kelas, yaitu: 1) seluruh anak melewati tahapan yang sama secara berurutan; 2) anak mempunyai tanggapan yang berbeda terhadap suatu benda atau kejadian; dan 3) apabila hanya kegiatan fisik yang diberikan kepada anak, tidaklah cukup untuk menjamin perkembangan intelektual anak.

Teori Bruner

Jerome Seymor Bruner merupakan salah satu tokoh yang memiliki pengaruh dalam teori belajar kognitivistik yang lahir pada tahun 1915. Teori belajar yang diusulkannya dikenal dengan free discovery learning (Siregar & Nara, 2015). Bruner menganggap bahwa belajar merupakan kegiatan pengolahan informasi. Kegiatan pengolahan tersebut meliputi pembentukan kategori-kategori. Di antara kategori tersebut ada kemungkinan saling berhubungan yang disebut sebagai koding (Sapriati et al, 2014). Menurut Bruner belajar tidak harus terlihat dari perubahan perilaku (Widodo, 2021). Proses belajar akan berjalan dengan baik dan kreatif apabila pendidik memberikan kesempatan pada anak untuk menemukan suatu aturan (konsep, teori, definisi, dsb.) melalui contoh-contoh yang menggambarkan aturan yang menjadi sumber acuannya.

Bruner mengelompokkan perkembangan pengetahuan pada anak seiring dengan pertambahan usia menjadi 3 fase, yaitu: 1) enaktif (0-1 tahun); 2) ikonik (1-6 tahun); dan 3) simbolik (7 tahun ke atas).
  1. Fase enaktif
  2. Fase ikonik
  3. Fase simbolik
Winataputra et al (2016) menegaskan bahwa beberapa manfaat dalam belajar penemuan, antara lain: 1) dapat digunakan untuk menguji apakah belajar sudah bermakna; 2) pengetahuan yang diperoleh siswa akan tersimpan lama dan mudah diingat; 3) diperlukan dalam pemecahan masalah sebab yang diinginkan yaitu siswa dapat mendemontrasikan pengetahuan yang diterimanya; 4) transfer dapat ditingkatkan setelah generalisasi ditemukan sendiri oleh siswa; 5) mempunyai pengaruh dalam menciptakan motivasi belajar; dan 6) meningkatkan penalaran siswa dan kemampuan untuk berpikir secara bebas.

Teori Gagne

Menurut Robert Mills Gagne, belajar merupakan proses yang memungkinkan seseorang untuk mengubah tingkah lakuknya cukup cepat, dan perubahan tersebut bersifat tetap, sehingga perubahan yang serupa tidak perlu terjadi berulang kali setiap menghadapi situasi yang baru (Sapriati et al, 2014). Proses belajar demikian dikenal dengan information processing model yang menganggap proses belajar merupakan hasil transformasi input menjadi output layaknya sebuah komputer.

Gagne juga mengemukakan 8 tingkatan belajar yang didasari bahwa proses belajar pada seseorang itu dimulai dari hal yang sederhana menuju hal yang kompleks.
  1. Belajar sinyal (signal learning)
  2. Stimulus-respon (stimulus-response learning)
  3. Mengaitkan/merangkai (chaining)
  4. Asosiasi verbal (verbal association)
  5. Belajar membedakan (discrimination learning)
  6. Belajar konsep (concept learning):
  7. Belajar aturan (rule learning)
  8. Pemecahan masalah (problem solving):

Teori Ausubel

Ausubel menyatakan bahwa belajar merupakan suatu proses dikaitkan dengan informasi baru pada konsep-konsep relevan yang terdapat pada struktur kognitif seseorang. Proses ini disebut sebagai belajar bermakna.

Teori Dewey

Dewey merupakan tokoh bidang pendidikan yang menyatakan serta menekankan pentingnya pengalaman dalam belajar. Widodo (2021) menyatakan bahwa pemanfaatan pengalaman dalam pendidikan dapat berlangsung melalui beberapa tahapan, yaitu: 1) pengamatan terhadap lingkungan sekitar; 2) membandingkan apa yang diamati dengan pengetahuan yang telah dimiliki; dan 3) menggabungkan pengetahuan yang telah dimiliki dan apa yang diamati serta menilai signifikansinya.

2. Teori belajar untuk Proses Ilmiah (Psikomotor)

Ranah psikomotor berkaitan dengan aspek-aspek perkembangan motorik, koordinasi otot, dan keterampilan-keterampilan fisik. Dalam pembelajaran sains, domain psikomotor berhubungan dengan hasil-hasil yang melibatkan cara-cara memanipulasi alat-alat (instrumen) (Farida, 2017). Capaian-capaian terkait suatu keterampilan lebih mudah untuk dipraktikan/dicontohkan daripada dalam bentuk lainnya. Teori belajar yang relevan dengan hasil belajar berupa proses ilmiah atau pengembangan keterampilan (psikomotor) yaitu teori belajar sosial. 

Teori Belajar Sosial

Teori belajar sosial atau teori belajar pengamatan (observational learning) merupakan teori yang dikembangkan oleh Albert Bandura. Bandura menganggap bahwa belajar merupakan hasil dari meniru (imitasi) perilaku orang lain yang dilihatnya. Tidak hanya manusia saja yang ditiru, tetapi perilaku hewan juga ditiru.

Menurut Widodo (2021) dalam membelajarkan IPA (sains) pada anak terkait keterampilan, maka teori belajar yang cocok yaitu teori belajar sosial. Beberapa contoh misalnya cara membuat sayatan untuk diamati di mikroskop, cara merangkai dan menimbang zat, dan cara penggunaan alat bantu pembelajaran sains lainnya. Selain itu, untuk melatih keterampilan bekerja di laboratorium maka dapat diawali dengan pendidik memberikan contoh melalui demonstrasi di kelas atau laboratorium, lalu siswa diminta untuk mengulangi atau melakukannya sendiri seperti yang telah dipraktikkan oleh pendidik.

3. Teori belajar untuk Sikap Ilmiah (Afektif)

Ranah afektif berkenaan dengan sikap dan nilai. Sikap merupakan keadaan dalam diri seseorang yang menggerakkan untuk bertindak atau berbuat dalam kegiatan sosial dengan perasaan tertentu, ketika menanggapi objek situasi atau kondisi di lingkungan sekitarnya. Selain itu, sikap juga memberikan kesiapan untuk merespons yang sifatnya positif atau negatif terhadap objek atau situasi (Farida, 2017). Sikap bukan suatu bawaan dari seseorang melainkan suatu bentuk hasil pembiasaan dan pengkondisian yang dilakukan. Untuk dapat membelajarkan sikap ilmiah pada anak maka teori belajar yang relevan yaitu teori belajar conditioning

Teori Belajar Conditioning

Ivan Pavlov, seorang ahli fisika Rusia pada akhir tahun 1800-an memperkenalkan proses pengkondisian responden (respondent conditioning) atau lebih dikenal dengan pengkondisian klasik (classical conditioning) (Baharuddin & Wahyuni, 2010). Ia merupakan salah satu tokoh yang menaruh perhatian pada pengaruh pengalaman terhadap proses belajar pada manusia dan hewan. Eksperimen yang Pavlov lakukan yaitu dengan memberikan beberapa perlakuan pada anjing dan memperhatikan perilakunya. Pada dasarnya, anjing yang lapar bila diberikan sepotong daging/makanan di dekatnya maka secara otomatis produksi air liur akan meningkat (salivation). 

Daging/makanan di sini merupakan penyebab anjing mengeluarkan air liur secara otomatis walaupun tanpa adanya pelatihan/pengkondisian yang dilakukan sebelumnya. Maka, daging/makanan disebut sebagai stimulus yang tidak dikondisikan (unconditioned stimulus). Air liur yang keluar secara otomatis ketika daging/makanan didekatkan pada anjing disebut sebagai respon yang tidak dikondisikan (unconditioned response). Di sini kita dapat menyimpulkan bahwa daging/makanan dapat menyebakan terbentuknya stimulus produksi air liur pada anjing, maka benda-benda lain misalnya bel/peluit tidak dapat menstimulus produksi air liur pada anjing. Bel/peluit di sini disebut sebagai stimulus netral (neutral stimulus). Berdasarkan hal ini, Pavlov melakukan eksperimen: jika stimulus netral (bel/peluit) diiringi dengan stimulus tidak dikondisikan (daging) yang dilakukan secara berulang-ulang pada anjing, maka stimulus netral akan menjadi conditioning stimulus yang memiliki pengaruh sama kuat seperti anjing melihat daging hingga menstimulus produksi air liur. Inilah yang dinamakan oleh Pavlov sebagai classical conditioning
Gambar 2. Classical Conditioning [Sumber: opentextbc.ca]
Widodo (2021) mengungkapkan bahwa pengembangan sikap ilmiah melibatkan proses kognitif dan perilaku sehingga teori belajar yang terkait adalah teori belajar kognitif dan teori belajar behavioristik. Sikap memang terkait erat dengan kognisi sebab sikap seseorang terbentuk dari pemikiran. Teori belajar yang cocok untuk pengembang sikap ilmiah yaitu teori belajar conditioning (classical conditioning dan operant conditioning). Dalam teori ini, sikap dihasilkan dari suatu pengkondisian yang dilakukan secara konsisten. Jadi, pada anak untuk menumbuhkan sikap ilmiah maka perlu dilakukan secara terus menerus dan konsisten terkait pengkondisian yang dilakukan. Classical conditioning merupakan suatu pengkondisian yang dilakukan secara berulang-ulang terkait suatu perilaku yang diinginkan sehingga terbentuk namanya kebiasaan. Selain itu, Operant conditioning merupakan suatu pengkondisian yang dilakukan sama seperti pada classical conditioning, yang membedakannya pada operant conditioning terdapat penggunaan sesuatu “tambahan” (operant) dapat berupa penghargaan (reward) atau hukuman (punishment). Hal ini dilakukan karena pada hakikatnya manusia berusaha meraih penghargaan dan menghindari hukuman.

Referensi:

  1. Baharuddin & Wahyuni, E. N. (2010). Teori Belajar & Pembelajaran. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media.
  2. Farida, I. (2017). Evaluasi Pembelajaran Berdasarkan Kurikulum Nasional. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. 
  3. Sapriati, A., Hartinawati, Sulaiman, M., Budiastra, A. A. K., Rockiyah, I., Rumanta, M., Ristansa, R., Nasution, N., & Sulistyarini, S. (2014). Pembelajaran IPA di SD. Tangerang Selatan: Universitas Terbuka.
  4. Siregar, E. & Nara, H. (2015). Teori Belajar dan Pembelajaran. Bogor: Penerbit Ghalia Indonesia.
  5. Siregar, E. Widyaningrum, R., Listyasari, W. D., Kasono, A., & Septiani, M. (2021). Teori Belajar dan Pembelajaran. Tangerang Selatan: Universitas Terbuka.
  6. Wahab, G. & Rosnawati (2021). Teori-Teori Belajar dan Pembelajaran. Indramayu: Penerbit Adab.
  7. Widodo, A. (2021). Pembelajaran Ilmu Pengetahuan Alam (Dasar-Dasar Untuk Praktik). Bandung: UPI Press.
  8. Winataputra, U. S., Pannen, P., Mustafa, D., Delfi, R., & Suciati (2016). Teori Belajar dan Pembelajaran. Tangerang Selatan: Universitas Terbuka.
Dewanto, S.Pd.
Dewanto, S.Pd. Pembelajar & Pengajar MIPA
Print Friendly and PDF

Post a Comment for "Teori-Teori Belajar dalam Pembelajaran IPA "